Sabtu, 06 April 2013

Makalah IMPLEMENTASI HAM DAN DEMOKRASI DI INDONESIA





IMPLEMENTASI HAM DAN DEMOKRASI DI INDONESIA



========================================================================

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Permasalahan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia merupakan isu Internasional yang sangat menonjol. Ini tentunya memerlukan perhatian yang serius karena dimensi pengaruhnya dalam kehidupan Nasional dan Internasional sangat besar. Di era globalisasi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, menuntut setiap negara untuk mengkaji permasalahan tersebut secara intensif. Informasi yang masuk ke suatu negara tidak hanya melalui interaksi Internal akan tetapi dapat diperoleh melalui Interkoneksi dan Interdependensi ( Interface ) antar bangsa, bilateral maupun multilateral.
Interface tersebut tentunya akan mempengaruhi pengetahuan dan kesadaran ( Awareness and Acquintance ) seseorang maupun kelompok masyarakat dan dalam perkembangannnya akan mempengaruhi juga penilaian ( Assessment ) dan perilaku ( Behaviour and Attitude ) yang bersangkutan. Di Indonesia, isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia ( HAM ) juga semakin menguat setelah adanya gerakan reformasi, dan ini merupakan tahap awal bagi transisi demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat hak asasi manusia ( HAM )?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia?
3. Bagaimana perkembangan HAM di Indonesia?
4. Apakah makna dan hakikat demokrasi?
5. Bagaimana sejarah dan perkembangan demokrasi di Indonesia?
6. Bagaimana implementasi HAM dan demokrasi di Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui hakikat hak asasi manusia ( HAM ).
2. Mengetahui perkembangan HAM di Indonesia.
3. Mengetahui makna dan hakikat demokrasi
4. Mengetahui sejarah dan perkembangan demokrasi di Indonesia.
5. Mengetahui implementasi HAM dan demokrasi di Indonesia.
6. Memaparkan contoh nyata penerapan budaya Demokrasi dan Hak Asasi Manusia ( HAM ) dalam kehidupan sehari-hari.


1.4 Manfaat
Melalui makalah ini, pembaca diharapkan dapat mengetahui dan memahami Hak Asasi Manusia ( HAM ) dan demokrasi secara menyeluruh serta sejarah perkembangan dan implementasinya sejauh ini di Indonesia. Serta mengetahui pentingnya budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam keluarga maupun masyarakat, berbangsa dan bernegara.

=========================================================================

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Hak Asasi Manusia ( HAM )
2.1.1 Hakikat Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau Negara dan sekaligus merupakan bagian dari nilai dasar demokrasi dan merupakan indikator supremasi hukum. Masalah Hak Asasi Manusia mempunyai akar budaya yang sangat kuat di Indonesia. Negara Indonesia sendiri terbentuk sebagai reaksi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang absolut selama penjajahan 350 tahun. Dalam Undang - undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa “ Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat Hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah - Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.


Dengan demikian hakekat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah bahkan Negara.


2.1.2 Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia.
2.1.2.1 Sejarah Internasional Hak Asasi Manusia

Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut ( Raja yang menciptakan hukum, tetapi tidak terikat pada hukum ), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban dimuka umum. Dari sinilah lahir doktrin bahwa Raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggung jawab kepada hukum dan rakyat, walaupun memiliki kekuasaan membuat Undang-undang.. Sejak itu jika raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya “ Bill of Rights “ di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum ( equality before the law ). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. “ Bill of Rights “ melahirkan asas persamaan.


Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya “ The American Declaration of Independence “ yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Yang intinya manusia telah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidak logis jika setelah lahir, ia harus dibelenggu. Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Setelah Perang Dunia II dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang disahkan oleh PBB pada tahun 1948.


2.1.2.2 Sejarah Nasional Hak Asasi Manusia
Deklarasi HAM yang disahkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948, merupakan puncak peradaban umat manusia setelah Perang Dunia II. Deklarasi HAM itu mengandung makna ganda, baik ke luar ( antar Negara - negara ) maupun ke dalam ( antar Negara - bangsa ), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di Negara masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara - bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM tersebut harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.


Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM yang terjadi pada negara anggota PBB bukan menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan saja, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan Negara - negara anggota PBB lainnya. Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang tercantum dalam Deklarasi HAM itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua. Di Indonesia, HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat ( Lontarak ). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak ( Tomatindo di Lagana ) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.


2.1.1 Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).


A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
Pemikiran mengenai hak asasi manusia sebagai tatanan nilai, norma serta acuan bertindak telah dapat dijumpai dalam organisasi pergerakan seperti :


@ Boedi Utomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.


@ Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.


@ Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.


@ Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.


@ Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.


@ Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.


@ Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.

Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.

B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a. Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.


b. Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.


c. Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.


d. Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.


e. Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.


2.2 Demokrasi
2.2.1 Makna dan Hakikat Demokrasi


Istilah “Demokrasi” berasal dari bahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat, dan Kratos yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, dan mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan Negara. Dalam sistem pemerintahan Demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Tetapi, rakyat tidak melaksanakan kedaulatannya secara langsung. Rakyat akan mewakilkannya kepada wakil-wakil rakyat. Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih Presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Pemilihan Presiden / anggota-anggota parlemen secara langsung belum menjamin bahwa negara tersebut adalah negara Demokrasi. Karena hal itu hanya sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walaupun perannya dalam sistem Demokrasi tidak besar, pemilihan umum sering disebut ”Pesta Demokrasi”. Ini adalah salah satu akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Dengan pengertian seperti itu, Demokrasi yang dipraktikkan adalah Demokrasi Perwakilan.


Salah satu pilar Demokrasi adalah prinsip Trias Politica yang membagi tiga kekuasaan politik negara ( Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif ) untuk diwujudkan dalam tiga jenis Lembaga Negara yang saling lepas dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis Lembaga Negara ini diperlukan agar ketiga Lembaga Negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol. Ketiga jenis Lembaga Negara tersebut adalah Lembaga-Lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan Eksekutif, Lembaga-Lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan Yudikatif, dan Lembaga-Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan Legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan Legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum Legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Demokrasi mengandung nilai-nilai moral. Jadi dalam penerapannya, Demokrasi harus dilandasi dengan nilai-nilai Demokrasi.


Nilai-nilai Demokrasi tersebut antara lain :
1. Menyelesaikan perselisihan dengan cara damai
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah
3. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur dan jujur
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai seminimal mungkin
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka-ragaman
6. Menjamin tetap tegaknya keadilan.

Dalam pengembangan dan membudayakan kehidupan Demokrasi perlu prinsip-prinsip sebagai berikut :


1. Pemerintahan yang berdasarkan konstitusi
2. Pemilu yang bebas, jujur, dan adil
  • Dijaminnya HAM
  • Persamaan kedudukan didepan hukum
  • Peradilan yang bebas dan tidak memikat
  • Kebebasan berserikat / berorganisasi dan mengeluarkan pendapat
  • Kebebasan pers / media massa.



2.2.2 Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Tahun 1988, ditandai dengan munculnya Orde Baru. Indonesia sudah melalui 4 zaman demokrasi yaitu :
a. Demokrasi Liberal ( 1950 – 1959 )

Pertama kali Indonesia menganut system demokrasi parlementer, yang biasa disebut dengan demokrasi liberal. Masa demokrasi liberal membawa dampak yang cukup besar, mempengaruhi keadaan, situasi dan kondisi politik pada waktu itu. Di Indonesia demokrasi liberal yang berjalan dari tahun 1950 - 1959 mengalami perubahan-perubahan kabinet yang mengakibatkan pemerintahan menjadi tidak stabil. Pada waktu itu, pemerintah berlandaskan UUD 1950 pengganti konstitusi RIS ( Republik Indonesia Serikat ) tahun 1949.


Ciri-ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut :
  • Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
  • Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerinta
  • Presiden bisa dan berhak membubarkan DPR.
  • Perdana Menteri diangkat oleh presiden.


b. Demokrasi Terpimpin ( 1959 – 1966 )

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :

1. Dari segi keamanan : Banyaknya gerakan sparatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidak stabilan di bidang keamanan.
2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
3. Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.


Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
  • Tidak berlaku kembali UUDS 1950
  • Berlakunya kembali UUD 1945
  • Dibubarkannya konstituante
  • Pembentukan MPRS dan DPAS

c. Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.


Ciri – cirri demokrasi pancasila :
  • Kedaulatan ada di tangan rakyat.
  • Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong royong.
  • Cara pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
  • Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi
  • Diakui keselarasan antara hak dan kewajiban
  • Menghargai Hak Asasi Manusia
  • Ketidaksetujuan terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil rakyat. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan semua pihak
  • Tidak menganut sistem monopartai
  • Pemilu dilaksanakan secara luber
  • Mengandung sistem mengambang
  • Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas
  • Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum


d. Demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi




2.3 Implementasi HAM dan Demokrasi di Indonesia
Praktik bagaimana demokrasi dan HAM berjalan di Indonesia sangat jelas terlihat melalui adanya pemilu langsung di Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang terbesar keempat di Dunia, menjadikan Indonesia sebagai Negara demokrasi terbesar di Dunia. HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh dunia. Sehingga pada dasarnya HAM pasti ada kalau manusia yang hidup dalam kehidupan sosialnya dan bisa dikatakan bahwa HAM terletak pada keberadaan manusia yang melahirkan demokrasi yang sebenarnya. Seiring berjalannya waktu, negara-negara di dunia mulai menetapkan berbagai peraturan sebagai upaya untuk mempertahankan hak asasi manusia dari masing-masing warga negaranya. Di Indonesia, peraturan mengenai HAM secara tegas diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 pasal 2 tentang asas-asas yang menyatakan, “ Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat, kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan “.


Namun, meskipun berbagai upaya telah diterapkan negara untuk meminimalkan terjadinya pelanggaran terhadap HAM, sampai saat ini telah terdapat ribuan kasus sejak terbentuknya KOMNAS HAM ( belum termasuk kasus-kasus yang tidak tercatat di pengadilan ). Undang-Undang mengenai HAM seolah-olah diacuhkan oleh para pelaku pelanggaran. Masyarakat saat ini lebih banyak menuntut hak meskipun harus mengabaikan hak orang lain dan kewajibannya sebagai manusia bermasyarakat, sehingga definisi mengenai penyelenggaraan HAM itu sendiri menjadi tersamarkan. Melihat kondisi yang terjadi saat ini, meskipun berbagai peraturan tentang demokrasi di Indonesia telah dibentuk dan ditetapkan hingga sedemikian, tetapi masih saja terdapat pelanggaran-pelanggaran di dalamnya. Misalnya saja pada pemilu tahun 2004 dan tahun 2009, baik pada pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota DPR, ditemukan kecurangan tentang pengadaan atau pemberian uang kepada masyarakat dengan tujuan agar warga tersebut memilih salah satu calon. Adanya kasus penyuapan secara tidak langsung menyisihkan hak untuk memilih dan menyampaikan pendapat. Masyarakat didesak oleh keputusan untuk memilih antara menyuarakan pendapat atau uang yang notabene menjadi kebutuhan primer, mengingat rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat di Indonesia. Padahal, pemilu merupakan salah satu kesempatan bagi rakyat untuk dapat menyuarakan aspirasinya mengingat yang dipilih dalam pemilihan umum tersebut akan menjadi pemimpin selama lima tahun ke depan.


Bukan hanya itu, salah pemaknaan dari demokrasi juga menjadi salah satu pemicu adanya pelanggaran. Sejatinya demokrasi merupakan sistem pemerintahan dimana rakyat seharusnya berperan aktif dalam jalannya pemerintahan, namun pada kenyataannya, rakyat hanya bisa menunutut. Hal itu dibuktikan dengan sering terjadinya tindak anarkis antara para demonstran yang menuntut perbaikan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, dengan aparat keamanan. Para demonstran yang selama ini sebagian besar adalah mahasiswa sering melakukan aksi anarkis hanya agar apa yang disuarakannya didengar. Padahal tanpa kekerasan pun aspirasi mereka dapat tersalurkan dengan baik jika melalui forum yang tepat dimana dapat melakukan diskusi langsung dengan para wakil rakyat di pemerintahan. Dari sisi pemerintah pun, telah ditemukan banyak pelanggaran yang dilakukan. Para wakil rakyat mengkhianati kepercayaan masyarakat dengan melakukan tindak korupsi pada dana yang semestinya diperuntukkan bagi rakyat. Kebijakan yang dibuat mengatasnamakan rakyat akhirnya hanya menguntungkan kaum minoritas semata. Bukan tidak mungkin hal itulah yang menyebabkan rakyat bertindak lebih keras dalam memantau jalannya sistem pemerintahan.

===================================================================

BAB III
SIMPULAN

Sejak bangsa Indonesia mengenal hak asasi manusia ( HAM ) dan demokrasi pertama kali, muncul harapan bahwa kedua poin yang mendukung keberadaan rakyat tersebut dapat benar-benar memperbaiki kualitas hidup masyarakat, terlebih setelah dilegitimasinya Undang-undang dan berbagai peraturan lain yang menguatkan kedudukan HAM dan demokrasi di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, tampaknya segala perundangan dan peraturan tersebut tidak lebih dari berlembar-lembar kertas tanpa kesungguhan yang mengikat. Mulai dari masyarakat hingga pada elemen pemerintah dan para penegak hukum mengalami disorientasi terhadap hakikat HAM dan demokrasi yang sesungguhnya. HAM lebih senang diartikan sebagai hak pribadi tanpa harus memedulikan kewajiban dan tanggungjawab terhadap kelompok lainnya, begitu pula dengan demokrasi yang dijadikan perisai untuk melindunginya. Masih banyak yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan implementasi HAM dan demokrasi di Indonesia yang lebih baik, walupun harus dengan proses panjang, karena HAM itu sendiri selalu dinamis berkembang sesuai kondisi dan situasi masyarakat.

Tidak ada komentar: